Kisah Perjanjian Hudaibiyah: Kemarahan Umar saat Hudaibiyah

Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu momen penting dalam sejarah Islam yang menunjukkan kebijaksanaan dan keterampilan diplomasi Nabi Muhammad SAW. Perjanjian ini berlangsung pada tahun ke-6 Hijriah (627 M) dan membawa dampak signifikan bagi perkembangan umat Islam di Jazirah Arab. Artikel ini akan membahas latar belakang, isi, dan pelajaran yang bisa diambil dari perjanjian tersebut.

Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Setelah mengalami berbagai penindasan dan penganiayaan di Makkah, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Dengan niat yang baik dan damai, Nabi Muhammad membawa sekitar 1.400 pengikutnya menuju Makkah pada bulan Dzulqa’dah. Namun, perjalanan ini tidak berjalan mulus. Kaum Quraisy, yang masih menolak Islam, merasa terancam dengan kedatangan Nabi dan para sahabatnya.

Proses Negosiasi

Setibanya di Hudaibiyah, dekat Makkah, Nabi Muhammad dan para sahabatnya mendirikan tenda dan menunggu. Kaum Quraisy segera mengirimkan utusan untuk menghadapi mereka. Setelah beberapa negosiasi yang tegang, akhirnya kaum Quraisy setuju untuk berbicara lebih lanjut mengenai kemungkinan perjanjian.

Utusan dari kedua pihak bertemu untuk membahas syarat-syarat perjanjian. Salah satu perwakilan Quraisy, Suhail bin Amr, diutus untuk bernegosiasi dengan Nabi Muhammad. Dalam perundingan, terjadi berbagai perdebatan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.

Isi Perjanjian

Berikut ini 5 poin utama dari isi Perjanjian Hudaibiyah:

  1. Gencatan senjata antara Mekkah dengan Madinah selama 10 tahun. Tidak boleh ada permusuhan dan tindakan buruk terhadap masing-masing pihak selama masa tersebut.
  2. Siapa yang datang dari kaum musyrik kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah. Namun jika ada kaum Muslim yang mendatangi kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan.
  3. Diperkenankan siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu dari kedua pihak. Ketika itu, suku Khuza’ah menjalin kerja sama dan mengikat perjanjian pertahanan bersama dengan Nabi Muhammad saw. dan Bani Bakar memihak kaum musyrik.
  4. Tahun ini Nabi Muhammad SAW dan rombongan belum diperkenankan memasuki Mekah. Namun harus ditunda sampai tahun depan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus. Kaum Quraisy akan keluar dari Mekah.
  5. Perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakannya, tanpa penipuan atau penyelewengan.

Perjanjian Hudaibiyah disaksikan oleh pihak muslim dan kaum Quraisy. Dari pihak muslim, ada Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Muhammad bin Salamah, dan Abdurrahman bin Suhail. Ali bin Abi Thalib bertugas sebagai sekretaris

Perjanjian Hudaibiyah menjadi momen penting dalam sejarah Islam, karena meskipun tampak menguntungkan bagi kaum Quraisy, ia membuka jalan bagi perkembangan dan penyebaran Islam di seluruh Arab.

Kemarahan Umar bin Khattab

Umar bin Khattab, yang dikenal dengan ketegasan dan keberaniannya, merasa sangat marah dengan isi perjanjian tersebut. Ia merasa bahwa syarat-syarat yang ditetapkan, terutama larangan untuk melaksanakan haji, adalah sebuah penghinaan terhadap umat Islam. Dalam pandangannya, Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan seharusnya tidak ada pihak yang bisa menghalangi hak-hak umat Islam untuk beribadah.

Dalam kemarahannya, Umar menghampiri Nabi Muhammad dan menyatakan ketidakpuasannya. Ia mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut terlihat merugikan bagi umat Islam dan meminta Nabi untuk menjelaskan mengapa beliau setuju dengan syarat-syarat tersebut.

Dialog antara Umar dan Nabi Muhammad

Umar bin Khattab:
“Wahai Rasulullah, bukankah kita di pihak yang benar? Mengapa kita harus menerima perjanjian ini dan membiarkan kaum Quraisy menghina kita? Apakah kau ini benar rosul utusan Allah?”

Nabi Muhammad:
“Umar, ini adalah perintah dari Allah. Kita harus bersabar dan mengikuti apa yang ditentukan.”

Meskipun Umar merasa frustrasi, Nabi Muhammad menegaskan bahwa perjanjian ini adalah langkah strategis untuk menjaga keselamatan umat Islam dan memperkuat posisi mereka di masa depan.

Dampak Perjanjian Hudaibiyah

Meskipun perjanjian ini terlihat menguntungkan bagi pihak Quraisy, dampaknya bagi umat Islam sangat signifikan. Berikut adalah beberapa dampak positif dari perjanjian tersebut:

  1. Stabilitas dan Keamanan: Dengan adanya perjanjian gencatan senjata, umat Islam dapat melakukan aktivitas dakwah dan memperkuat basis mereka di Madinah tanpa gangguan dari kaum Quraisy.
  2. Perkembangan Islam: Selama periode damai, banyak orang dari berbagai suku dan latar belakang yang mulai tertarik untuk mempelajari Islam. Umat Islam berhasil menyebarkan ajaran Islam dengan lebih efektif.
  3. Kekuatan Posisi: Perjanjian ini memberi posisi tawar yang lebih baik bagi umat Islam di masa depan. Ketika tahun berikutnya umat Islam kembali ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, hal ini menunjukkan keberhasilan dan kekuatan Nabi Muhammad dalam memimpin umatnya.
  4. Pelajaran tentang Diplomasi: Perjanjian Hudaibiyah mengajarkan pentingnya diplomasi, kesabaran, dan ketekunan dalam menghadapi konflik. Nabi Muhammad menunjukkan sikap bijaksana dalam bernegosiasi meskipun berada di posisi yang kurang menguntungkan.

Penutup

Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu contoh terbaik dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang mengedepankan prinsip damai, diplomasi, dan strategi. Momen ini mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan, kesabaran, dan bagaimana menyikapi konflik dengan bijak. Semoga kita dapat mengambil inspirasi dari kisah ini dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.

baca juga: Peristiwa Isra Mi’raj dan Hikmah yang Terkandung di Dalamnya

baca juga: Kisah Nabi Muhammad SAW Pergi ke Syam Bersama Pamannya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *